watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

DARI ADEKNYA BARU KAKAKNYA

Selesai sekolah Sabtu itu langsung dilanjutkan
rapat pengurus OSIS. Rapat itu dilakukan sebagai
persiapan sekaligus pembentukan panitia kecil
pemilihan OSIS yang baru. Seperti tahun-tahun
sebelumnya, pemilihan dimaksudkan sebagai
regenerasi dan anak-anak kelas 3 sudah tidak
boleh lagi dipilih jadi pengurus, kecuali beberapa
orang pengurus inti yang bakalan “naik pangkat”
jadi penasihat.

Usai rapat, aku bergegas mau langsung pulang,
soalnya sorenya ada acara rutin bulanan: pulang
ke rumah ortu di kampung. Belum sempat aku
keluar dari pintu ruangan rapat, suara nyaring
cewek memanggilku.

“Didik .. “ aku menoleh, ternyata Sarah yang
langsung melambai supaya aku mendekat. “Dik,
jangan pulang dulu. Ada sesuatu yang pengin
aku omongin sama kamu,” kata Sarah setelah aku
mendekat.

“Tapi Rah, sore ini aku mau ke kampung. Bisa
nggak dapet bis kalau kesorean,” jawabku.
“Cuman sebentar kok Dik. Kamu tunggu dulu ya,
aku mberesin ini dulu,” Sarah agak memaksaku
sambil membenahi catatan-catatan rapat.
Akhirnya aku duduk kembali.

“Dik, kamu pacaran sama Nita ya?” tanya Sarah
setelah ruangan sepi, tinggal kami berdua. Aku
baru mengerti, Sarah sengaja melama-lamakan
membenahi catatan rapat supaya ada
kesempatan ngomong berdua denganku.
“Emangnya, ada apa sih?” aku balik bertanya.
“Enggak ada apa-apa sih .. “ Sarah berhenti
sejenak. “Emmm, pengin nanya aja.”
“Enggak kok, aku nggak pacaran sama Nita,”
jawabku datar.

“Ah, masa. Temen-temen banyak yang tahu kok,
kalau kamu suka jalan bareng sama Nita, sering
ke rumah Nita,” kata Sarah lagi.
“Jalan bareng kan nggak lantas berarti pacaran
tho,” bantahku.

“Paling juga pakai alasan kuno ‘Cuma temenan’,”
Sarah berkata sambil mencibir, sehingga
wajahnya kelihatan lucu, yang membuatku
ketawa. “Cowok di mana-mana sama aja, banyak
bo’ongnya.”

“Ya terserah kamu sih kalau kamu nganggep aku
bohong. Yang jelas, sudah aku bilang bahwa aku
nggak pacaran sama Nita.”
Aku sama sekali tidak bohong pada Sarah, karena
aku sama Nita memang sudah punya komitmen
untuk ‘tidak ada komitmen’. Maksudnya,
hubunganku dengan Nita hanya sekedar untuk
kesenangan dan kepuasan, tanpa janji atau ikatan
di kemudian hari. Hal itu yang kujelaskan
seperlunya pada Sarah, tentunya tanpa
menyinggung soal ‘seks’ yang jadi menu utama
hubunganku dengan Nita.
“Nanti malem, mau nggak kamu ke rumahku?”
tanya Nita sambil melangkah keluar ruangan
bersamaku.

“Kan udah kubilang tadi, aku mau pulang ke
rumah ortu nanti,” jawabku.
“Ke rumah ortu apa ke rumah Nita?” tanya Sarah
dengan nada menyelidik dan menggoda.
“Kamu mau percaya atau tidak sih, terserah.
Emangnya kenapa sih, kok nyinggung-
nyinggung Nita terus?” aku gantian bertanya.
“Enggak kok, nggak kenapa-kenapa,” elak Sarah.
Akhirnya kami jalan bersama sambil ngobrol
soal-soal ringan yang lain. Aku dan Sarahpun
berpisah di gerbang sekolah. Nita sudah ditunggu
sopirnya, sedang aku langsung menuju halte.
Sebelum berpisah, aku sempat berjanji untuk
main ke rumah Nita lain waktu.

*****

Diam-diam aku merasa geli. Masak malam
minggu itu jalan-jalan sama Sarah harus ditemani
kakaknya, dan diantar sopir lagi. Jangankan untuk
ML, sekedar menciumpun rasanya hampir
mustahil. Sebenarnya aku agak ogah-ogahan
jalan-jalan model begitu, tapi rasanya tidak
mungkin juga untuk membatalkan begitu saja.
Rupanya aturan orang tua Sarah yang ketat itu,
bakalan membuat hubunganku dengan Sarah jadi
sekedar roman-romanan saja. Praktis acara pada
saat itu hanya jalan-jalan ke Mall dan makan di
‘food court’.

Di tengah rasa bete itu aku coba menghibur diri
dengan mencuri-curi pandang pada Mbak Indah,
baik pada saat makan ataupun jalan. Mbak Indah,
adalah kakak sulung Sarah yang kuliah di salah
satu perguruan tinggi terkenal di kota ‘Y’. Dia
pulang setiap 2 minggu atau sebulan sekali. Sama
sepertiku, hanya beda level. Kalau Mbak Indah
kuliah di ibukota propinsi dan mudik ke
kotamadya, sedang aku sekolah di kotamadya
mudiknya ke kota kecamatan.


Wajah Mbak Indah sendiri hanya masuk kategori
lumayan. Agak jauh dibandingkan Sarah.
Kuperhatikan wajah Mbak Indah mirip ayahnya
sedang Sarah mirip ibunya. Hanya Mbak Indah ini
lumayan tinggi, tidak seperti Sarah yang pendek,
meski sama-sama agak gemuk.
Kuperhatikan daya tarik seksual Mbak Indah ada
pada toketnya. Lumayan gede dan kelihatan
menantang kalau dilihat dari samping, sehingga
rasa-rasanya ingin tanganku menyusup ke balik
T-Shirtnya yang longgar itu. Aku jadi ingat Nita.
Ah, seandainya tidak aku tidak ke rumah Sarah,
pasti aku sudah melayang bareng Nita.

Saat Sarah ke toilet, Mbak Indah mendekatiku.
“Heh, awas kamu jangan macem-macem sama
Sarah!” katanya tiba-tiba sambil memandang
tajam padaku.
“Maksud Mbak, apa?” aku bertanya tidak
mengerti.
“Sarah itu anak lugu, tapi kamu jangan sekali-kali
manfaatin keluguan dia!” katanya lagi.
“Ini ada apa sih Mbak?” aku makin bingung.
“Alah, pura-pura. Dari wajahmu itu kelihatan
kalau kamu dari tadi bete,” aku hanya diam
sambil merasa heran karena apa yang dikatakan
Mbak Indah itu betul.

“Kamu bete, karena malem ini kamu nggak bisa
ngapa-ngapain sama Sarah, ya kan?” aku hanya
tersenyum, Mbak Indah yang tadinya tutur
katanya halus dan ramah berubah seperti itu.
“Eh, malah senyam-senyum,” hardiknya sambil
melotot.


“Memang nggak boleh senyum. Abisnya Mbak
Indah ini lucu,” kataku.
“Lucu kepalamu,” Mbak Indah sewot.
“Ya luculah. Kukira Mbak Indah ini lembut kayak
Sarah, ternyata galak juga!” Aku tersenyum
menggodanya.
“Ih, senyam-senyum mlulu. Senyummu itu
senyum mesum tahu, kayak matamu itu juga
mata mesum!” Mbak Indah makin naik, wajahnya
sedikit memerah.

“Mbak cakep deh kalau marah-marah,” makin
Mbak Indah marah, makin menjadi pula aku
menggodanya.

“Denger ya, aku nggak lagi bercanda. Kalau kamu
berani macem-macem sama adikku, aku bisa
bunuh kamu!” kali ini Mbak Indah nampak benar-
benar marah.
Akhirnya kusudahi juga menggodanya melihat
Mbak Indah seperti itu, apalagi pengunjung mall
yang lain kadang-kadang menoleh pada kami.
Kuceritakan sedikit tentang hubunganku dengan
Sarah selama ini, sampai pada acara ‘apel’ pada
saat itu.

“Kalau soal pengin ngapa-ngapain, yah, itu sih
awalnya memang ada. Tapi, sekarang udah
lenyap. Sarah sepertinya bukan cewek yang tepat
untuk diajak ngapa-ngapain, dia mah penginnya
roman-romanan aja,” kataku mengakhiri
penjelasanku.

“Kamu ini ngomongnya terlalu terus-terang ya?”
Nada Mbak Indah sudah mulai normal kembali.
“Ya buat apa ngomong mbulet. Bagiku sih lebih
baik begitu,” kataku lagi.

“Tapi .. kenapa tadi sama aku kamu beraninya
lirak-lirik aja. Nggak berani terus-terang mandang
langsung?”

Aku berpikir sejenak mencerna maksud
pertanyaan Mbak Indah itu. Akhirnya aku
mengerti, rupanya Mbak Indah tahu kalau aku
diam-diam sering memperhatikan dia.

“Yah .. masak jalan sama adiknya, Mbak-nya mau
diembat juga,” kataku sambil garuk-garuk kepala.
Setelah itu Sarah muncul dan dilanjutkan acara
belanja di dept. store di mall itu. Selama
menemani kakak beradik itu, aku mulai sering
mendekati Mbak Indah jika kulihat Sarah sibuk
memilih-milih pakaian. Aku mulai lancar
menggoda Mbak Indah.

Hampir jam 10 malam kami baru keluar dari mall.
Lumayan pegal-pegal kaki ini menemani dua
cewek jalan-jalan dan belanja. Sebelum keluar
dari mall Mbak Indah sempat memberiku
sobekan kertas, tentu saja tanpa sepengetahuan
Sarah.

“Baca di rumah,” bisiknya.

***

Aku lega melihat Mbak Indah datang ke counter
bus PATAS AC seperti yang diberitahukannya
lewat sobekan kertas. Kulirik arloji menunjukkan
jam setengah 9, berarti Mbak Indah terlambat
setengah jam.

“Sori terlambat. Mesti ngrayu Papa-Mama dulu,
sebelum dikasih balik pagi-pagi,” Mbak Indah
langsung ngerocos sambil meletakkan hand-bag-
nya di kursi di sampingku yang kebetulan
kosong. Sementara aku tak berkedip
memandanginya.
Mbak Indah nampak sangat
feminin dalam kulot hitam, blouse warna krem,
dan kaos yang juga berwarna hitam.
Tahu aku
pandangi, Mbak Indah memencet hidungku
sambil ngomel-ngomel kecil, dan kami pun
tertawa. Hanya sekitar sepuluh menit kami
menunggu, sebelum bus berangkat.

Dalam perjalanan di bus, aku tak tahan melihat
Mbak Indah yang merem sambil bersandar.
Tanganku pun mulai mengelu-elus tangannya.
Mbak Indah membuka mata, kemudian bangun
dari sandarannya dan mendekatkan kepalanya
padaku.

“Gimana, Mbaknya mau di-embat juga?” ledeknya
sambil berbisik.
“Kan lain jurusan,” aku membela diri. “Adik-nya
jurusan roman-romanan, Mbak-nya jurusan … “
Aku tidak melanjutkan kata-kataku, tangan Mbak
Indah sudah lebih dulu memencet hidungku.
Selebihnya kami lebih banyak diam sambil tiduran
selama perjalanan.
***

Yang disebut kamar kos oleh Mbak Indah ternyata
sebuah faviliun. Faviliun yang ditinggali Mbak
Indah kecil tapi nampak lux, didukung
lingkungannya yang juga perumahan mewah.
“Kok bengong, ayo masuk,” Mbak Indah
mencubit lenganku. “Peraturan di sini cuman
satu, dilarang mengganggu tetangga. Jadi, cuek
adalah cara paling baik.”
Aku langsung merebahkan tubuhku di karpet
ruang depan, sementara setelah meletakkan
hand-bag-nya di dekat kakiku, Mbak Indah
langsung menuju kulkas yang sepertinya terus
on.

“Nih, minum dulu, habis itu mandi,” kata Mbak
Indah sambil menuangkan air dingin ke dalam
gelas.

“Kan tadi udah mandi Mbak,” kataku.
“Ih, jorok. Males aku deket-deket orang jorok,”
Mbak Indah tampak cemberut. “Kalau gitu, aku
duluan mandi,” katanya sambil menyambar
hand-bag dan menuju kamar. Aku lihat Mbak
Indah tidak masuk kamar, tapi hanya membuka
pintu dan memasukkan hand-bag-nya. Setelah itu
dia berjalan ke belakang ke arah kamar mandi.
“Mbak,” Mbak Indah berhenti dan menoleh
mendengar panggilanku. “Aku mau mandi, tapi
bareng ya?”

“Ih, maunya .. “ Mbak Indah menjawab sambil
tersenyum. Melihat itu aku langsung bangkit dan
berlari ke arah Mbak Indah. Langsung kupeluk dia
dari belakang tepat di depan pintu kamar mandi.
Kusibakkan rambutnya, kuciumi leher
belakangnya, sambil tangan kiriku mengusap-
usap pinggulnya yang masih terbungkus kulot.
Terdengar desahan Mbak Indah, sebelum dia
memutar badan menghadapku. Kedua tangannya
dilingkarkan ke leherku.

“Katanya mau mandi?” setelah berkata itu, lagi-lagi
hidungku jadi sasaran, dipencet dan ditariknya
sehingga terasa agak panas. Setelah itu
diangkatnya kaosku, dilepaskannya sehingga aku
bertelanjang dada. Kemudian tangannya
langsung membuka kancing dan retsluiting jeans-
ku. Lumayan cekatan Mbak Indah melakukannya,
sepertinya sudah terbiasa. Seterusnya aku sendiri
yang melakukannya sampai aku sempurna
telanjang bulat di depan Mbak Indah.
“Ih, nakal,” kata Mbak Indah sambil menyentil
rudalku yang terayun-ayun akibat baru tegang
separo.

“Sakit Mbak,” aku meringis.
“Biarin,” kata Mbak Indah yang diteruskan dengan
melepas blouse-nya kemudian kaos hitamnya,
sehingga bagian atasnya tinggal BH warna hitam
yang masih dipakainya. Aku tak berkedip
memandangi sepasang toket Mbak Indah yang
masih tertutup BH, dan Mbak Indah tidak
melanjutkan melepas pakainnya semua sambil
tersenyum menggoda padaku.

Birahi benar-benar sudah tak bisa kutahan.
Langsung kuraih dan naikkan BH-nya, sehingga
sepasang toket-nya yang besar itu terlepas.
“Ih, pelan-pelan. Kalau BH-ku rusak, emangnya
kamu mau ganti,” lagi-lagi hidungku jadi sasaran.
Tapi aku sudah tidak peduli. Sambil memeluknya
mulutku langsung mengulum tokenya yang
sebelah kanan.

Mbak Indah tidak berhenti mendesah sambil
tangannya mengusap-usap rambutku. Aku
makin bersemangat saja, mulutku makin rajin
menggarap toketnya sebelah kanan dan kiri
bergantian. Kukulum, kumainkan dengan lidah
dan kadang kugigit kecil. Akibat seranganku yang
makin intens itu Mbak Indah mulai menjerit-jerit
kecil di sela-sela desahannya.

Beberapa menit kulakukan aksi yang sangat
dinikmati Mbak Indah itu, sebelum akhirnya dia
mendorong kepalaku agar terlepas dari toketnya.
Mbak Indah kemudian melepas BH, kulot dan CD-
nya yang juga berwarna hitam. Sementara
bibirnya nampak setengah terbuka sambil
mendesi lirih dan matanya sudah mulai sayu,
pertanda sudah horny berat.

Belum sempat mataku menikmati tubuhnya yang
sudah telanjang bulat, tangan kananya sudah
menggenggam rudalku. Kemudian Mbak Indah
berjalan mundur masuk kamar mandi sementara
rudalku ditariknya. Aku meringis menahan rasa
sakit, sekaligus pengin tertawa melihat kelakuan
Mbak Indah itu.

Mbak Indah langsung menutup pintu kamar
mandi setelah kami sampai di dalam, yang
diteruskan dengan menghidupkan shower.
Diteruskannya dengan menarik dan memelukku
tepat di bawah siraman air dari shower. Dan …
“mmmmhhhh …. “ bibirnya sudah menyerbu
bibirku dan melumatnya. Kuimbangi dengan aksi
serupa. Seterusnya, siraman air shower
mengguyur kepala, bibir bertemu bibir, lidah
saling mengait, tubuh bagian depan menempel
ketat dan sesekali saling menggesek, kedua
tangan mengusap-usap bagian belakang tubuh
pasangan, “Aaaaaahhh,” nikmat luar biasa.

Tak ingat berapa lama kami melakukan aksi
seperti itu, kami melanjutkannya dalam posisi
duduk, tak ingat persis siapa yang mulai. Aku
duduk bersandar pada dinding kamar mandi, kali
ku luruskan, sementar Mbak Indah duduk di atas
pahaku, lututnya menyentuh lantai kamar mandi.
Kemudian kurasakan Mbak Indah melepaskan
bibirnya dari bibirku, pelahan menyusur ke
bawah. Berhenti di leherku, lidahnya beraksi
menjilati leherku, berpindah-pindah. Setelah itu,
dilanjutkan ke bawah lagi, berhenti di dadaku.
Sebelah kanan-kiri, tengah jadi sasaran lidah dan
bibirnya. Kemudian turun lagi ke bawah, ke perut,
berhenti di pusar. Tangannya menggenggam
rudalku, didorong sedikit ke samping dengan
lembut, sementara lidahnya terus
mempermainkan pusarku. Puas di situ, turun
lagi, dan bijiku sekarang yang jadi sasaran.
Sementara lidahnya beraksi di sana, tangan
kanannya mengusap-usap kepala rudalku dengan
lembut. Aku sampai berkelojotan sambil
mengerang-erang menikmati aksi Mbak Indah
yang seperti itu.

Pelahan-lahan bibirnya merayap naik menyusuri
batang rudalku, dan berhenti di bagian kepala,
sementara tangannya ganti menggenggam
bagian batang. Kepala rudalku dikulumnya, dijilati,
berpindah dan berputar-putar, sehingga tak satu
bagianpun yang terlewat. Beberapa saat
kemudian, kutekan kepala Mbak Indah ke bawah,
sehingga bagian batanku pun masuk 2/3 ke
mulutnya. Digerakkannya kepalanya naik turun
pelahan-lahan, berkali-kali. Kadang-kadang
aksinya berhenti sejenak di bagian kepala, dijilati
lagi, kemudian diteruskan naik turun lagi.

Pertahananku nyaris jebol, tapi aku belum mau
terjadi saat itu. Kutahan kepalanya, kuangkat
pelan, tapi Mbak Indah seperti melawan. Hal itu
terjadi beberapa kali, sampai akhirnya aku berhasil
mengangkat kepalanya dan melepas rudalku dari
mulutnya.

Kuangkat kepala Mbak Indah, sementara matanya
terpejam. Kudekatkan, dan kukulum lembut
bibirnya. Pelan-pelan kurebahkan Mbak Indah
yang masih memejamkan mata sambil mendesis
itu ke lantai kamar mandi. Kutindih sambil
mulutku melahap kedua toketnya, sementara
tanganku meremasnya bergantian.

Erangannya, desahannya, jeritan-jeritan kecilnya
bersahut-sahutan di tengah gemericik siraman air
shower. Kuturunkan lagi mulutku, berhenti di
gundukan yang ditumbuhi bulu lebat, namun
tercukur dan tertata rapi. Beberapa kali kugigit
pelan bulu-bulu itu, sehingga pemiliknya
menggelinjang ke kanan kiri. Kemudian
kupisahkan kedua pahanya yang putih,besar dan
empuk itu. Kubuka lebar-lebar. Kudaratkan bibirku
di bibir memeknya, kukecup pelan. Kujulurkan
lidahku, kutusuk-tusukan pelan ke daging
menonjol di antar belahan memek Mbak Indah.

Pantat Mbak Indah mulai bergoyang-goyang
pelahan, sementara tangannya menjambak atau
lebih tepatnya meremas rambutku, karena
jambakannya lembut dan tidak menyakitkan.
Kumasukkan jari tengahku ku lubang memeknya,
ku keluar masukkan dengan pelan. Desisan Mbak
Indah makin panjang, dan sempat ku lirik
matanya masih terpejam. Kupercepat gerakan
jariku di dalam lubang memeknya, tapi
tangannya langsung meraih tanganku yang
sedang beraksi itu dan menahannya. Kupelankan
lagi, dan Mbak melepas tangannya dari tanganku.
Setiap kupercepat lagi, tangan Mbak Indah meraih
tanganku lagi, sehingga akhirnya aku mengerti dia
hanya mau jariku bergerak pelahan di dalam
memeknya.

Beberapa menit kemudian, kurasakan Mbak Indah
mengangkat kepalaku menjauhkan dari
memeknya. Mbak Indah membuka mata dan
memberi isyarat padaku agar duduk bersandar di
dinding kamar mandi. Seterusnya merayap ke
atasku, mengangkang tepat di depanku.

Tangannya meraih rudalku, diarahkan dan
dimasukkan ke dalam lubang memeknya.
“Oooooooooooohh ,” Mbak Indah melenguh
panjang dan matanya kembali terpejam saat
rudalku masuk seluruhnya ke dalam memeknya.
Mbak Indah mulai bergerak naik-turun pelahan
sambil sesekali pinggulnya membuat gerakan
memutar. Aku tidak sabar menghadapi aksi Mbak
Indah yang menurutku terlalu pelahan itu, mulai
kusodok-sodokkan rudalku dari bawah dengan
cukup cepat. Mbak Indah menghentikan
gerakannya, tangannya menekan dadaku cukup
kuat sambil kepala menggeleng, seperti
melarangku melakukan aksi sodok itu. Hal itu
terjadi beberapa kali, yang sebenarnya
membuatku agak kecewa, sampai akhirnya Mbak
Indah membuka matanya, tangannya mengusap
kedua mataku seperti menyuruhkan
memejamkan mata. Aku menurut dan
memejamkan mataku.

Setelah beberapa saat aku memejamkan mata,
aku mulai bisa memperhatikan dengan telingaku
apa yang dari tadi tidak kuperhatikan, aku mulai
bisa merasakan apa yang dari tadi tidak
kurasakan. Desahan dan erangan Mbak Indah
ternyata sangat teratur dan serasi dengan gerakan
pantatnya,sehingga suara dari mulutnya, suara
alat kelamin kami yang menyatu dan suara
siraman air shower seperti sebuah harmoni yang
begitu indah. Dalam keterpejaman mata itu, aku
seperti melayang-layang dan sekelilingku terasa
begitu indah, seperti nama wanita yang sedang
menyatu denganku. Kenikmatan yang kurasakan
pun terasa lain, bukan kenikmatan luar biasa yang
menhentak-hentak, tapi kenikmatan yang sedikit-
sedikit, seperti mengalir pelahan di seluruh
syarafku, dan mengendap sampai ke ulu hatiku.
Beberapa menit kemudian gerakan Mbak Indah
berhenti pas saat rudalku amblas seluruhnya. Ada
sekitar 5 detik dia diam saja dalam posisi seperti
itu. Kemudian kedua tangannya meraih kedua
tanganku sambil melontarkan kepalanya ke
belakang. Kubuka mataku, kupegang kuat-kuat
kedua telapak tangannya dan kutahan agar Mbak
Indah tidak jatuh ke belakang. Setelah itu
pantatnya membuat gerakan ke kanan-kiri dan
terasa menekan-nekan rudal dan pantatku.

“Aaa .. aaaaaa …

aaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhh,”

desahan dan

jeritan kecil Mbak Indah itu disertai kepala dan
tubuhnya yang bergerak ke depan.

Mbak Indah
menjatuhkan diri padaku seperti menubruk,
tangannya memeluk tubukku, sedang kepalanya
bersandar di bahu kiriku. Ku balas memeluknya
dan kubelai-belai Mbak Indah yang baru saja
menikmati orgasmenya. Sebuah cara orgasme
yang eksotik dan artistik.

Setelah puas meresapi kenikmatan yang baru
diraihnya, Mbak Indah mengangkat kepala dan
membuka matanya. Dia tersenyum yang
diteruskan mencium bibirku dengan lembut.
Belum sempat aku membalas ciumannya, Mbak
Indah sudah bangkit dan bergeser ke samping.
Segera kubimbing dia agar rebahan dan telentang
di lantai kamar mandi. Mbak Indah mengikuti
kemauanku sambil terus menatapku dengan
senyum yang tidak pernah lepas dari bibirnya.
Kemudian kuarahkan rudalku yang rasanya
seperti empot-empotkan ke lubang memeknya,
kumasukkan seluruhnya. Setelah amblas
semuanya Mbak Indah memelekku sambil
berbisik pelan.

“Jangan di dalam ya sayang, aku belum minum
obat,” aku mengangguk pelan mengerti
maksudnya. Setelah itu mulai kugoyang-goyang
pantatku pelan-pelan sambil kupejamkan mata.
Aku ingin merasakan kembali kenikmatan yang
sedikit-sedikit tapi meresap sampai ke ulu hati
seperti sebelumnya. Tapi aku gagal, meski
beberapa lama mencoba. Akhirnya aku membuat
gerakan seperti biasa, seperti yang biasa
kulakukan pada tante Ani atau Nita. Bergerak maju
mundur dari pelan dan makin lama makin cepat.
“Aaaah… Hoooohh,” aku hampir pada puncak,
dan Mbak Indah cukup cekatan. Didorongnya
tubuhku sehingga rudalku terlepas dari
memeknya. Rupanya dia tahu tidak mampu
mengontrol diriku dan lupa pada pesannya.
Seterusnya tangannya meraih rudalku sambil
setengah bangun. Dikocok-kocoknya dengan
gengaman yang cukup kuat, seterusnya aku
bergeser ke depan sehingga rudalku tepat berada
di atas perut Mbak Indah.

“Aaaaaaaah … aaaaaaahhh … crottt… crotttt ..,”

beberapa kali spermaku muncrat membasahi
dada dan perut Mbak Indah. Aku merebahku
tubuhku yang terasa lemas di samping Mbak
Indah, sambil memandanginya yang asyik
mengusap meratakan spermaku di tubuhnya.
“Hampir lupa ya?” lagi-lagi hidungku jadi
sasarannya waktu Mbak Indah mengucapkan
kata-kata itu.

***

Selama di bus dalam perjalanan pulang aku
memejamkan mata sambil mengingat-ingat
pengalaman yang baru saja ku dapat dari Mbak
Indah. Saat di kamar mandi, dan saat mengulangi
sekali lagi di kamarnya. Seorang wanita dengan
gaya bersetubuh yang begitu lembut dan penuh
perasaan.

“Kalau sekedar mengejar kepuasan nafsu, itu
gampang. Tapi aku mau lebih. Aku mau
kepuasan nafsuku selaras dengan kepuasan yang
terasa di jiwaku.”

Kepuasan yang terasa di jiwa, itulah hal yang
kudapat dari Mbak Indah dan hanya dari Mbak
Indah, karena kelak setelah gonta-ganti pasangan,
tetap saja belum pernah kudapatkan kenikmatan
seperti yang kudapatkan dari Mbak Indah.
Kepuasan dan kenikmatan yang masih terasa
dalam jangka waktu yang cukup lama meskipun
persetubuhan berakhir.

“Ingat ya, jangan pernah sekali-kali kamu lakukan
sama Sarah. Kalau sampai kamu lakukan, aku
tidak akan pernah memaafkan kamu!” Aku
terbangun, rupanya dalam tidurku aku bermimpi
Mbak Indah memperingatkanku tentang Sarah,
adiknya. Dan bus pun sudah mulai masuk
terminal.

tamat
demikianlah Cerita Dewasa terbaru | cerita


Adult | GO HOME | Exit
1/1734
U-ON

inc Powered by Xtgem.com